Senin, 26 Januari 2009

HATIKU SEDIH KETIKA MELIHAT ANAKKU YANG PANDAI TIDAK BISA BERPENDAPAT DAN BERTANGGUNG JAWAB PADA DIRINYA (Sebuah Kilas Balik Keberhasilan Siswaku)

Pada tahun 2002, ketika itu penulis diberi tugas mengajar di kelas 2 SMP (sekarang kelas VIII) yang katanya enak karena kelas tersebut pandai-pandai siswanya. Dalam bayangan penulis wah seru nich karena dapat diajak berkomunikasi. Tetapi setetah tampil pertama kali mengajar ternyata jauh dari bayangan, mereka memang pandai, tetapi waktu bertanya atau ditanya mereka tidak ada nyali untuk menjawab, mereka pada diam, takut salah, takut diketawain teman-teman lainnya, takut dimarahi guru, takut kalau dihukum, takut,… takut,….. gilirannya diskusi sama teman malah mengerjakan sendiri, yang ditonjolkan hanya ego masing-masing, memang sih mereka kalau disuruh mengerjakan soal hebat-hebat nilainya.

Setelah melihat keganjilan-keganjilan itu, penulis prihatin jika ini dibiarkan akan merusak diri mereka dari sisi selain IQnya, mereka akan kurang luwes jika berada di lingkungan masyarakatnya, mereka akan jadi seorang yang tidak yakin akan dirinya sendiri.

Nah untuk mengatasi hal seperti itu, penulis mengubah diri mereka dengan menyiapkan model pembelajaran yang ada diskusinya, ada kerja kelompoknya, ada presentasinya, ada penilaian kelompok, dalam memecahkan masalah ada LKS dihadapannya yang harus didiskusikan dengan kelompoknya, antar anggota kelompok wajib ada giliran yang mempresentasikan tanpa kecuali, ada penghargaan setiap anggota yang telah presentasi, latihan menanggapi pertanyaan teman, adu argumentasi. Akhirnya meyimpulkan bersama apa yang telah mereka temukan tentunya guru harus mendampinginya, tak lupa mereka punya buku notis sendiri-sendiri menuliskan perasaan mereka tentang kegiatan belajar mereka tadi.
Peran guru bagaimana, ya sebagai “pelayan” mereka, jika ada siswa yang menyimpang jalur diskusi diingatkan atau ada yang anggota kelompoknya pasif berdiskusi atau membantu menjawab pertanyaan waktu presentasi juga diingatkan dengan diberi tahu ada pengurangan nilai keaktifan kelompok.
Melihat cerita di atas, kok kayaknya mahal ya, harus menyediakan Lembar Kerja, menyiapkan keperluan siswa dan lain-lain. Tetapi pada waktu pelaksanaan ternyata murah sekali lho, alat peraga yang digunakan dalam kegiatannyapun tidak harus permanent dari took, tetapi penulis memanfaatkan limbah-limbah, atau lingkungan sekolah. Kalau kertas-kertas keperluan siswa, siswa memang harus menyediakannya tetapi kadang juga penulis minta bantuan sekolah untuk penyediaan kebutuhan mereka.
Awalnya memang kurang berhasil, misalnya saja masih ada yang kerja sendiri, ada yang diam dan alain-lain. Tetapi penulis dari awal mengajar mengutamakan proses ketimbang hasil dahulu. Lambat laun mereka terbiasa dengan pola seperti ini, jika mereka bosan di kelas di adakan kegiatan pembelajarannya di luar kelas alias observasi alias outdoor. Kadang juga penulis selingi penayangan CD pembelajaran interaktif atau film materi matematika.

Alhasil, anak-anak menjadi berpikir kritis, pandai bergaul dengan teman, jika ada kesulitan belajar matematika tidak cangung bertanya pada penulis sebagai gurunya, menjadi mereka percaya dirinya bertambah, menghargai teman, menghargai guru. Dan lebih hebatnya lagi, hasil uanas mereka bagus-bagus dan banyak yang diterima di sekolah lanjutan yang favorit, yang menurut penulis jarang dicapai di sekolah kami, karena letak, fasilitas, kemampuan siswa yang sekolah miliki. Setelah mereka di sekolah barunya pun mereka dapat beradaptasi cepat dengan teman-teman barunya, serta aktif di organisasi-organisasi di sekolah lanjutannya. Akhirnya bikin penulis bangga….. pada mereka…..semoga mereka sukses selalu. Amin.

1 komentar:

Melly Andriani mengatakan...

sikap pro aktif emang harus di latihkan. kita sering meyalahkan keadaaan padahal kita sendiri tidak berusaha mengubahnya. bapak sudah melakukan tindakan yang tepat.